11.15.2015

Warna Warni Langit Annas

  No comments    
categories: 

Musim panas yang menyengat membuat semua orang kelelahan. Panasnya terik matahari membakar setiap inci kulitnya yang semakin menghitam. Keringat bercucuran menjadi teman setianya dalam berbagai aktifitas. Kaos hitam kesayangannya yang bertuliskan "Anak kebanggaan ayah" menjadi pakaian yang paling sering dia gunakan,mungkin 4 hari dalam seminggu kaos lusuh itu menempel di tubuh kekarnya. Langit yang begitu cerah dia tatap dengan sendu.

Dia adalah sahabatku,Annas namanya. Saat ini usianya sama denganku,19. Aku mengenalnya saat kami masih mondok sebagai santri di Darul Hasan, Sukabumi. Pengalaman sebagai santri bermula ketika 12 tahun lalu orang tuaku sepakat memasukkan aku ke pesantren ini. Orang tuaku memang aneh,aku dipesantrenkan di sini sedangkan mereka adalah ustadz dan ustdzah di sebuah pesantren lain. "Kenapa aku tidak masuk pesantren ayah saja?" batinku. Aku baru tahu setelah dewasa,bahwa sudah menjadi tradisi saling menitipkan anak diantara para ustadz. Alasannya agar anak berkembang di luar zona kekuasaannya. 

Annas aku temui saat masa orientasi santri baru kala itu. Kami sekelompok dan satu kobong (kamar bagi para santri). Sorot mata Annas tajam tapi menenangkan. Gigi taring di sisi kirinya semakin membuat wajahnya tampan kala ia tersenyum. Ya, senyum tulus yang sudah lama kurindukan. Senyumnya yang membuatku semakin mantap menjalani peranku sebagai santri. 
Annas terpilih sebagai ketua angkatan dan aku yang menjadi wakilnya,itulah permulaan kami menjadi akrab. Kami berbagi tugas, dan aku selalu terpesona dengan gaya memimpin sahabatku ini. Dia bijak,tegas dan visioner. Dia tidak diktator apalagi provokator. Semua orang menyukainya, si lelaki periang dan penuh wibawa. Annas sangat suka menatap langit,dia selalu tersenyum saat memandangnya. Langit kuning di pagi hari,biru siang hari dan kelam kala mendung. Sore hari dengan langit semburat merah dan malam gelap dengan bulan dan bintangnya. Annas menyukai semuanya.

Annas si cerdas menyandang predikat santri teladan dari para guru selama dua tahun berturut-turut. Selain santri teladan,prestasi akademik di sekolah pun tak mau kalah unjuk gigi. Dia yang selalu juara kelas bahkan siswa terbaik satu angkatan menjadi duta untuk berbagai perlombaan antar sekolah. Annas dan aku terkenal sebagai duo combi. Aku akui sifatku yang teliti dan detil mengimbangi Annas yang visioner dengan mimpi besarnya. 

Waktu berlalu cukup cepat hingga kami sadar bahwa kami sudah masuk usia 16 tahun. Tahun itu kami memasuki jenjang SMA yang katanya adalah masa paling indah. Benar saja masa itu sungguh indah,masa transisi remaja menuju dewasa yang begitu membekas. Bekas yang berbeda bagi Annas sahabatku, dia mengalami masa kelam saat semester akhir kelas XII. Saat semua murid SMA berjibaku dengan berbagai les untuk Ujian Nasional dan ujian masuk PTN,justru dia terpuruk kehilangan kepercayaan dirinya. Dia tersesat dalam dirinya.

Aku sedih kala mengingat kejadian itu, saat Annas disalahkan oleh orang tua murid yang kehilangan anak semata wayangnya. Anak itu adalah murid pindahan yang duduk sebangku dengan Annas di semester akhir, Deri namanya. Seminggu sebelum try out UN,Deri mengeluh pada Annas bahwa dia selalu dimintai uang bahkan dipukuli oleh temannya di SMA lain. Dia mengeluh bahwa dia tak bisa membela dirinya dan juga tak punya teman yang mau membelanya. Wajah Deri saat itu sedikit bengkak dan memar. Annas pun mengulurkan tangan untuk siap membantu Deri. 

Sore itu begitu mendung, hujan pun meminta izin pada awan agar ia bisa turun ke bumi. Sang awan masih menahannya karena ia menyaksikan Annas yang sedang berlari ke arah kerumunan di pojok pasar. Annas terlambat. Dia terlambat menyelamatkan Deri yang babak belur dijejali pukulan sepulang sekolah. Deri meregang nyawa,mukanya yang penuh darah dan seragam sekolahnya berubah merah membuat hati Annas semakin pilu. Tak lama saat tangan Annas menyambut tubuh Deri, dia menutup mata untuk selamanya. Bak tubuh yang kena sembilu berkali-kali dan menikamnya dengan kuat, Annas rubuh. Dia menjerit dan menangis diiringi hujan yang ikut turun karena bersedih. 

Ibu Deri yang saat itu histeris dan kalut menyalahkan Annas karena tak menolong anaknya. Annas masih limbung,ia kacau dan merasa semesta menyalahkannya. Sejak saat itu senyumnya hilang,semangatnya redup dan hilang arah. Kejadian itu sangat membebani pikirannya,dia menyesal karena lebih mendahulukan rapat OSIS dibandingkan bergegas mencari Deri yang mengirimkan sms bahwa dia dalam bahaya. Dia menyalahkan dirinya terlalu dalam,hingga dia tak mampu mengikuti UN. 

Setiap hari aku datang ke rumahnya, bertanya bagaimana kabarnya. Dia hanya mengurung diri di kamar seluas 2x3 m itu. Ayahnya sangat terpukul dengan perubahan Annas. Anak kebanggannya sedang jatuh terperosok, dalam dan kelam. Annas semakin kurus dan beringas. Dia tak terkendali dan mudah marah,memukul sesiapa yang mencoba menasehatinya. Aku salah satunya,kena pukul beberapa kali saat mencoba berbicara pada sahabatku ini. 

Saat aku dan teman-teman yang lain masuk kuliah,Annas masih mogok sekolah. Dia harus mengulang kelas XII,itu keputusan dari sekolah. Dia menolak untuk sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar tinju dan bergaul dengan para tukang pukul di Pasar. Dia sering menatap langit dengan tatapan marah dan sedih. Entah apa yang dia pikirkan,sorot matanya kini penuh dendam. 

Ayah Annas semakin tua, dia sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai Bank. Menyaksikan perilaku Annas membuat dia sering sakit-sakitan. Dia menasihati anaknya dengan ucapan lembut dan kesabaran. Dia pernah menulis surat untuk Annas dan hadiah kaos hitam bertuliskan "Anak kebanggaan ayah". Sebulan kemudian langit begitu mencekam,hujan deras terus mengguyur tanah merah dengan papan bertuliskan nama ayah Annas. Aku menemani Annas di pusara ayahnya,aku memayunginya tapi ia menolak dengan lesu. Tangisnya pecah saat para peziarah sudah mulai meninggalkan pemakaman. Dia sangat menyesal karena ayahnya pergi tak didampingi siapapun,dan dia marah karena ditinggalkan ayahnya sendirian. 

Dia aku antar pulang. Sebelum masuk rumah dia menatap langit dan menangis. Dia menyuruhku pulang. "Kamu pulang saja,aku ingin sendiri. Terima kasih karena masih mau jadi sahabatku" ucapnya dengan tatapan kosong. Wajah Annas semakin basah berkat tangisnya yang terus meluap. Dia mencari hadiah dari ayahnya yang belum dia buka. Hadiahnya dibungkus kertas kado bergambar langit. Ayahnya tahu betul bahwa Annas sangat menyukai langit. Kadonya berisi kaos hitam dan sebuah surat. Hatinya pilu, sakit menikam dadanya dan membuat sesak seolah tak ada oksigen yang bisa dia hirup. Dia membaca surat itu dengan terbata-bata karena tangisnya tak juga usai.

"Annasku sayang..
Anak ayah yang selalu ayah banggakan
Anak ayah yang masih bisa tersenyum dan tegar kala ibu pergi
Anak ayah yang semangat dan cerdas
Anak ayah yang kuat dan sangat suka menatap langit
Kamu pernah bilang pada ayah bahwa langit itu seperti kehidupan kita
Bisa berwarna biru, cerah dan menyenangkan
Bisa berwarna merah membuat hati berdebar
Bisa berwarna kuning berkobar semangat
Dan juga bisa hitam kelam penuh kegelapan
Tapi ingatlah nak, Allah ciptakan bintang dan bulan dalam gelapnya langit malam
Allah Maha Baik bukan?
Kamu sangat suka dengan bentuk bulan purnama kan nak?
Ayah juga suka, sangat suka :)
Setiap yang terjadi sudah ada garis takdirnya. Tak usah risau,kita manusia diberikan kesempatan untuk memilih bagaimana menyikapi setiap kejadian kan nak?
Ayah harap kamu akan kembali menjadi Annas anak kebanggan ayah
Ayah rindu senyumanmu nak
senyumanmu mirip dengan ibumu 
Ayah ingin kamu semakin kuat walau sudah tak bersama ayah ya nak
Saat kamu membaca surat ini,ayah harap kamu sedang tersenyum dan tetap jadi kebanggaan ayah"

Surat itu membuat Annas menjerit memanggil ayah,tangisnya semakin menjadi-jadi dan membuat tubuhnya rubuh. Seminggu kemudian aku melihat Annas keluar rumah dengan memakai kaos hadiah itu. Dia masih berduka. Raut wajahnya masih kusut,sendu. Dia mencari kerja serabutan mulai dari tukang angkut barang di Pasar sampai mencuci piring kotor di rumah makan. Dia tak pernah bertegur sapa hanya berbicara seperlunya saja,bahkan denganku sahabatnya. 
"Nas gimana kabar kamu?" sapaku. "Begini aja,kamu lihat sendiri" senyumnya miris. 
"Kamu masih bisa selesaikan SMA nas,kembalilah ke sekolah. Aku rindu Annas yang penuh cita-cita"
"Tentu saja aku ingin tamat SMA,ini aku sedang nabung" ucapnya. Aku sangat senang mendengarnya.
"Apa yang bisa aku bantu nas?aku ingin segera bersama lagi di bangku kuliah"
Dia hanya tersenyum tulus dan mengucapkan terima kasih. Dia berlalu menuju tempat kerjanya. Aku senang melihat senyumnya sudah mulai kembali. 

Beberapa bulan kemudian Annas kembali ke sekolah. Dia mengulang kelas XII dengan serius walau Annas yang dulu belum kembali sepenuhnya. Dia tidak mengikuti ekstrakurikuler apapun di sekolah karena harus bekerja. 
Sekitar sebulan setelah dia kembali ke sekolah,ada satu kejadian lagi yang terjadi padanya. Ibunya Deri datang ke sekolah. Dia ingin bertemu dengan Annas. Dia meminta maaf karena telah menyalahkan Annas atas kejadian yang menimpa Deri. Dia merasa menyesal melihat Annas menderita dan merutuki dirinya sebagai ibu yang tidak becus. Annas terdiam kemudian memeluknya erat.Annas meminta maaf karena terlambat menyelamatkan Deri. Ibunya Deri menangis haru dan meminta Annas menjadi anak angkatnya. Annas tersenyum lalu menghambur memeluknya semakin erat. Kejadian itu membuat rasa lapang dalam dada Annas, dia berjanji akan menjadi anak kebanggaan ayah. 

Kini aku sering datang berkunjung dan mengajaknya sesekali naik ke atap rumahnya untuk memandang langit lebih dekat. Kami menunjuk langit dan awan sesuai imajinasi kami. Dia tersenyum lebar menatap langit lalu melempar senyumnya padaku. Aku pun senyum dan berkata "selamat datang kembali Annas".

Bandung Gerimis
15 November 2015

Tsamrotul Fuadah




0 comments:

Post a Comment