Pertanyaan : “Apakah contoh yang paling kongkrit dari Globalisasi?”Jawaban : “Kematian Lady Diana”Penasaran : “Bagaimana bisa seperti itu?”Jawaban : “Lady Diana adalah orang Inggris yang mempunyai pacar orang Mesir, mengalami kecelakaan di sebuah terowongan di Perancis saat mengendarai mobil buatan Jerman yang mesinnya berasal dari Belanda. Supirnya orang Belgia yang mabuk karena minum whiskey Skotlandia.Saat terjadinya kecelakaan itu, Sang Putri sedang dikejar-kejar paparazzi asal Italia yang mengendarai sepeda motor buatan Jepang. Sebelum meninggal, Lady Diana dirawat oleh seorang doktor Amerika dengan obat-obatan yang diproduksi di Brazil. Dan tulisan ini mulanya dikirim oleh seorang Armenia menggunakan teknologi Bill Gate.Ketika Anda sedang membaca tulisan ini kemungkinan menggunakan salah perangkat komputer atau Handphone yg memakai chip buatan Taiwan dengan monitor buatan Korea yang dirakit buruh-buruh asal Filipina di sebuah pabrik di Singapura. Diangkut dengan kereta oleh orang India dan dibajak oleh orang Indonesia dan akhirnya dibeli oleh Anda.”
Petikan humor diatas adalah sebuah ilustrasi sederhana tentang globalisasi yang kini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi banyak negara. Ada negara yang melihat sebagai sebuah tantangan ada pula yang melihat sebagai sebuah ancaman. Negara kita, Indonesia bisa jadi menjadi negara yang “masih” melihat globalisasi sebagai sebuah ancaman. Contoh nyata yang sedang di alami Indonesia adalah ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat ekonomi Indonesia terhadap kebijakan ACFTA yang akan diberlakukan. Saat ini masyarakat ekonomi di Indonesia sudah mulai merasakan sulitnya bersaing dalam merebut pasar dengan produk yang berasal dari Cina.
Bentuk lain dari Globalisasi yang telah berkembang saat ini adalah terbentuknya kelompok negara ekonomi kuat dunia. Seperti kelompok G-20, dimana Indonesia merupakan anggotanya, atau kelompok BRCIS (Brazil, Rusia, China, India , South Africa) yang baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. ASEAN pun mulai mengembangkan jaringan ekonomi nya ke negara Cina dan Jepang sehingga saat ini dikenal dengan istilah ASEAN +2. Sebuah konsekuensi logis yang tercipta dari berkembangan globalisasi adalah jejaring kerjasama yang semakin lebar dan telah melewati batas geografis, etnis, agama, bahkan idealisme negara.
Sisi lain dari globalisasi memungkinan seseorang untuk berhubungan dengan siapapun yang ia inginkan di dunia ini. Dengan semakin mutakhirnya teknologi informasi dan komunikasi, seseorang dapat “mendadak terkenal” dan mendapat simpati dari banyak orang. Globalisasi telah melahirkan gerakan 1.000.000 facebookers untuk Bibit dan Chandra, Koin untuk Prita, Revolusi Mesir, hingga seorang Polisi berpangkat Briptu pun dapat terkenal mendadak di Indonesia. Jejaring sosial yang merupakan salah satu buah dari tumbuhnya pohon globalisasi pun menjadi sebuah ikon tersendiri bagi pergaulan dan pola komunikasi antar sesama. Sehingga, tak bisa dipungkiri bahwa globalisasi telah banyak merubah cara hidup dan berpikir masyarakat saat ini.
***
Begitu pula gerakan mahasiswa, secara sadar atau tidak, gerakan mahasiswa pun telah dipengaruhi oleh globalisasi. Beberapa contoh sederhana yang telah terjadi adalah semakin mudahnya komunikasi antar kampus, pemanfaatan jejaring sosial untuk mengekspresikan gagasan dan membangun opini, dan berkembangnya media dan desain dalam menyampaikan pesan. Gerakan mahasiswa juga terkena imbas dari perubahan pola hidup mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang cenderung instan dan materialis menjadi tantangan tersendiri agar gerakan mahasiswa terus berada pada jalur idealisme yang semestinya.
Globalisasi memberikan lebih banyak tantangan ketimbang ancamana bagi gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun demikian, tantangan ini dapat begitu saja blunder menjadi sebuah ancaman, ketika mahasiswa di Indonesia tidak mampu membaca trend globalisasi dan terjebak pada romantisme gerakan mahasiswa di masa lalu. Globalisasi menuntut gerakan mahasiswa lebih terbuka, inovatif, dan dinamis agar dapat selalu mengikuti ritme perkembangan globalisasi. Memang menjadi sebuah dilema, apakah mahasiswa akan tetap bergerak dengan “gaya lama” yang bisa jadi selama ini telah menuai banyak sejarah romantis yang sulit dilupakan, ataukah mahasiswa bersedia mereposisi, dan merevitalisasi gerakannya agar dapat diterima dan bermanfaat untuk masyarakat. Kunci utama dari perubahan ini adalah : tetap dengan idealisme ala mahasiswa.
Perubahan cara berpikir mahasiswa
Tantangan globalisasi pertama yang perlu dihadapi dari gerakan mahasiswa adalah mahasiswa itu sendiri. Pergeseran makna mahasiswa telah terjadi akibat arus materialisme yang berlebihan. Kebanyakan mahasiswa kini telah menikmati kondisi nyaman dan mapan. Bila ada sebuah survei yang menanyakan apa tujuan mahasiswa mencari ilmu di perguruan tinggi, maka jawaban yang akan paling banyak adalah “agar dapat kerja dan hidup sejahtera”. Sesungguhnya tidak ada yang salah dari mencari kerja dan hidup nyaman, akan tetapi jangan sampai mahasiswa hanya terpikat pada hal itu saja dan melupakan tanggung jawab mereka sebagai mahasiswa.
Ada sebuah ungkapan yang menarik tentang mahasiswa saat ini,
Jika kau ingin mengetahui makna mahasiswa, pergilah pada masyarakat tertindas di seberang sana…Jika masih belum, datangilah birokrat-birokrat pongah di atas sana..Jika masih belum juga, datangilah para pengusaha tamak dan culas di kantor-kantornya..Jika ternyata masih belum mengerti, pertanda kini mereka sedang nyaman dengan bangku kuliahnya..
Akan tetapi, sebenarnya keadaan mahasiswa saat ini belum se-cuek ungkapan tersebut. Mahasiswa saat ini ingin berpartisipasi, namun melalui media ekspresi yang sesuai dengan minat dan potensi yang mereka miliki. Mahasiswa kini tidak bisa disamaratakan minatnya untuk hanya “sama-sama turun ke jalan”. Perlu adanya diversivikasi gerakan agar setiap mahasiswa dapat berpartisipasi dalam membangun bangsa. Untuk itu, gerakan mahasiswa sangat diharapkan mampu merangkul setiap potensi mahasiswa dan mengkolaborasikannya menjadi sebuah harmonisasi gerak yang optimal. Diversivikasi gerakan dalam konteks ini adalah variasi dari metode gerakan, seperti gerakan seni dan budaya, olahraga, keprofesian dan lainnya.
Transformasi silent majority menjadi creative majority
Bila sebelumnya istilah silent majority seringkali digunakan untuk mengekspresikan jumlah massa yang diam maka tantangan dari globalisasi adalah bagaimana jumlah yang besar ini di optimalkan potensinya agar dapat bermanfaat untuk gerakan mahasiswa. Dulu, ketika teknologi informasi dan komunikasi belum seperti saat ini, mereka yang kerap disebut silent majority hanya bisa diam dan tidak punya ruang untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan opini mereka ke publik. Namun, dengan berbagai media yang ada saat ini seperti facebook, twitter, dan youtube, setiap individu dapat mengekspresikan ke publik Sebagai sebuah contoh, kelompok KomuniAKsi mengilustrasikan pancasila dan nasionalisme dengan membuat sebuah audio-visual art melalui media youtube, atau seorang mahasiswa secara rutin menuliskan opini melalui portal berita on-line yang memberikan kesempatan untuk dibaca oleh banyak orang.
Artinya, dalam era globalisasi, sangat mungkin seseorang untuk speak out sesuai dengan potensi yang ia miliki. Gerakan mahasiswa sangat diharapkan mampu menstimulus keinginan untuk menyuarakan ide, gagasan dan opini dari pikiran seseorang ke publik. Berbagai cara dapat dilakukan, melalui pendekatan personal seperti mentoring, pendampingan dan coaching clinic. Pendekatan yang lebih masif dapat digerakkan melalui seminar, pelatihan dan workshop. Tentu semua pendekatan ini dilakukan secara tematik, artinya setiap minat dan potensi mahasiswa perlu difasilitasi secara keberlanjutan.
Mahasiswa bisa di kelompokkan dalam beberapa kategori minat dan potensi, yakni ; (1) Aktifis, (2) Atlet, (3) Seniman, (4) Akademisi, dan (5) Entrepreneur. Bila setiap kategori ini dilakukan pendekatan personal dan masif secara rutin dan terencana, maka potensi besar dari massa yang besar akan dapat mendukung gerakan mahasiswa.
Jangan sampai gerakan mahasiswa tidak melibatkan seluruh potensi yang dimiliki oleh mahasiswa yang ada. Karena salah satu tujuan keberadaan gerakan mahasiswa adalah untuk mengoptimalisasi dan mengsinergikan potensi. Bila gerakan mahasiswa hanya di dominasi oleh sekelompok kecil mahasiswa yang menghegemoni, maka gerakan tersebut sangat dipertanyakan kredebilitas dan representasinya.
Think Globally, Plan Regionally, and Act Locally
Berpikir Global, tantangan kedepan dari gerakan mahasiswa adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan dunia internasional. Mampukah gerakan mahasiswa Indonesia berkiprah di dunia Internasional dengan prestasi yang beragam. Gerakan mahasiswa Indonesia diharapkan mampu untuk membangun jaringan dengan gerakan mahasiswa atau pemuda di negara lain. Menjadi sebuah konsekuensi logis bahwa seorang pemimpin gerakan mahasiswa di Indonesia untuk memiliki kapasitas kelas dunia, sehingga dapat menghadiri atau bahkan menginisiasi pertemuan mahasiswa di tingkat internasional.
Cara berpikir internasional ini diharapkan agar gerakan mahasiswa dapat melihat skala gerakan pada tingkat global, dan mampu memposisikan pula potensi Indonesia dalam konstelasi geo-politik Internasional. Dengan cara berpikir dan jaringan global yang dimiliki oleh gerakan mahasiswa, akan memberikan sebuah paradigma gerakan yang lebih luas, dan diharapkan mampu memberikan determinasi yang lebih besar untuk mewujudkan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
Memiliki paradigma internasional bukan berarti gerakan mahasiswa menjadi merujuk ke barat atau menjadi kapitalis. Belajar tentang cara berpikir dunia internasional justru akan membuat gerakan mahasiswa dapat membuat gagasan untuk meng-anti-tesis paham-paham internasional yang dapat kontraproduktif terhadap pembangunan bangsa. Disinalah peran gerakan mahasiswa Indonesia untuk mengangkat martabat negeri ini melaui gagasan, ide dan perubahan yang di determinasi oleh gerakan yang dibangun. Dengan pola seperti ini, pemikiran mahasiswa tidak akan terjajah oleh opini asing yang mengisi pemikiran kebanyakan masyarakat di Indonesia. Lebih lanjut, paradigma yang luas ini perlu di fokuskan pada isu atau wilayah tertentu. Dengan modal paradigma yang ada, mahasiswa dapat menjadi lebih bijak dalam bertindak dan melangkah.
***
Beradaptasi dengan globalisasi atau tertinggal oleh perubahan dunia. Itulah pilihan yang dihadapi oleh gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa kedepan tidak bisa hanya berkutat pada kotak bernama Indonesia, tetapi perlu membuka pandangan keluar kotak tersebut dan melihat dunia.
0 comments:
Post a Comment